Omnibus Law Perspektif Perempuan, Diskusi Terbuka PP Nasyiatul Aisyiyah

 

Omnibus law cipta kerja menjadi polemik di awal Oktober ini. RUU yang telah diketuk palu pada Ahad malam memancing unjuk rasa di penjuru negeri. Hal ini disinyalir karena pasal-pasal yang tertera di dalamnya tidak memihak kepentingan bangsa dan anak negeri, terutama kaum pekerja.

Pimpinan Pusat Nasyiatul Aisyiyah pada Kamis 8 Oktober 2020 pukul 19.30-21.00 WIB menggelar diskusi terbuka mengenai hal di atas. Diskusi ini diadakan guna menggali dan memahami isi omnibus law dilihat dari perspektif ilmu hukum tata negara dan keperempuanan.

Hadir pembicara pada ajang tersebut Fery Amsari, S.H., M.H., LL.M., sebagai pakar hukum tata negara dan Dr. Fithriatus Shalihah seorang pakar hukum ketenagakerjaan. Diskusi ini dibuka oleh pengantar dari ketua PP Muhammadiyah, Dr. H. M. Busyro Muqoddas, M.Hum.

Pembuka diskusi menjadi pemantik panas sebelum dua orang pakar memaparkan temuannya. Hal ini menjadikan kurang lebih 200 peserta sangat antusias. Pakar hukum tata negara menyebutkan bahwa omnibus law merupakan “sapu jagat” undang-undang. Ia meramu dan meringkas beberapa pasal atau undang-undang lain dalam satu paket undang-undang.

Menurutnya, dari beberapa negara yang telah menerbitkan omnibus law, tak ada satu pun yang memenuhi syarat demokrasi di dalamnya. Begitu pun dengan omnibus law ini, tuturnya jika ia berhasil dilaksanakan di Indonesia, maka bangsa ini telah mundur ke zaman orba bahwa orla. Hal itu disebabkan karena secara tersirat omnibus law ini menarik kewenangan daerah untuk mengatur diri sendiri menjadi kewenangan pusat.

Pemaparan yang lebih menarik pun datang dari pakar hukum ketenagakerjaan. Beliau membawakan bahasannya dengan judul Kado Pilu Maternitas dalam Omnibus Law. Judul tersebut diambil guna memberikan gambaran efek omnibus law bagi para kaum perempuan.

Hak maternitas yang dimiliki kaum pekerja perempuan bisa jadi menjadi terpinggirkan jika omnibus law ini berlaku. Menurutnya, dalam omnibus law aturan hal maternitas ini tidak tercantum secara jelas sebagaimana yang tercantum dalam Undang-undang Ketenagakerjaan pasal 76, 81, 82, dan 83. Dalam UUK hak  maternitas ini berupa cuti haid, cuti hamil, cuti melahirkan, bahkan cuti menikah pun diatur secara jelas.

Namun, berbeda dalam omnibus law, alih-alih tercantum secara jelas, hak bagi pekerja perempuan tersebut diserahkan kepada pemilik usaha. Hal inilah yang nantinya akan menjadi celah penyelewengan. Hal tersbut dapat memicu ketidakadilan yang memberatkan kaum perempuan karena tidak dipayungi oleh hukum yang jelas.

Diskusi menarik ini digelar sebagai bahan literasi hukum bagi Nasyiah dalam upaya advokasi terhadap ketidakadilan khususnya bagi kaum perempuan. Diskusi ini ditutup dengan banyak harapan semoga pemerintah bisa meninjau ulang dan merevisi isi undang-undang yang tidak berpihak pada kepentingan masyarakat dan kedaulatan serta keselamatan bangsa dan negara. (A_Kar)


0 Comments:

Posting Komentar